RESOLUSI parlemen Eropa yang mendiskreditkan minyak sawit dinilai telah menghina Indonesia. Mereka menuduh kelapa sawit sebagai ladang korupsi, eksploitasi pekerja anak, pelanggaran HAM, dan menghilangkan hak masyarakat adat.
Lantas pertanyaan yang menganjal ialah apa sih dosa kelapa sawit?
Sekadar mengingatkan, parlemen Eropa baru saja mengesahkan Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan itu sangat merugikan RI karena secara khusus menyebut sejumlah daftar dosa kelapa sawit yang dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat dan lain-lain.
Bahkan mereka menuduh dan mengajak untuk boikot investasi sawit dan pindah ke minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai.
Bukan Barang Baru
Kampanye untuk memboikot produk sawit bukan barang baru lagi. Daftar dosa kelapa sawit selalu disebut untuk mengalihkan perhatian masyarakat dunia dari produk sawit ke produk minyak sayur. Tidak cukup hanya isu lingkungan hidup, kandungan gizi minyak sawit pun disebut tidak aman untuk kesehatan. Ini berdampak pada anjloknya konsumsi olahan kelapa sawit di Eropa.
Data dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) menyebut konsumsi olahan kelapa sawit, khususnya pada industri makanan di Eropa pada 2016 hanya sekitar 3,3 juta ton, turun dari 2015 yang mencapai 4,3 juta ton. Tantangan terbesar yang dihadapi industri sawit nasional saat ini dan masa mendatang ialah kampanye negatif di luar negeri.
Hal inilah yang harus disikapi secara baik oleh semua pemangku kepentingan di industri sawit. Patut diakui, sawit kini menjadi produk ekspor nomor satu dari RI dengan nilai USD25 miliar pada 2015. Meski menguntungkan, sawit menghadapi sejumlah kendala yang cukup berat ke depan.
Jika ingin kelapa sawit tetap menjadi komoditas unggulan dalam waktu yang lama, isu kampanye negatif harus disikapi secara terbuka. Pemerintah dan pelaku usaha tidak perlu panik apalagi bertindak seperti pemadam kebakaran.
Perencanaan yang matang patut disusun agar persoalan yang sama tidak terulang dan kampanye negatif diselesaikan tuntas. Sebut lah misalnya persyaratan pencantuman sumber minyak nabati secara spesifik untuk seluruh produk makanan yang beredar di Eropa.
Uni Eropa (UE) mengeluarkan EU Labelling Regulation 1169/2011 yang mempersyaratkan pencantuman sumber minyak nabati nonsawit untuk seluruh produk makanan yang beredar di pasar Eropa.
Persoalan ini belum tuntas penyelesaiannya dan selalu berulang. Pemerintah RI seharusnya berani dan tegas mengatakan bahwa produk makanan impor dari Eropa yang beredar di RI harus menggunakan minyak sawit.
Selain itu Indonesia juga mendapat tuduhan yang sama atas produk biodiesel dan fatty alcohol. Biodiesel diboikot karena berasal dari minyak sawit yang dituduh telah mencemari lingkungan. Pemerintah UE seperti Prancis atau Italia berdalih bahwa aturan pelabelan itu bukan aturan pemerintah, tapi aturan yang diterapkan swasta.
Satu hal yang patut dicatat, mereka melakukan semua ini karena kompetisi. EU labelling regulation misalnya, sebenarnya sederhana, mereka ingin menggunakan vegetable oil untuk menandingi palm oil RI. Industri minyak nabati di Eropa dan AS tertekan oleh crude palm oil (CPO) yang harganya lebih efisien dan turunannya banyak.
CPO saat ini sudah sangat dominan dalam pangsa pasar minyak nabati. Negara-negara di Eropa dan AS melindungi produk mereka dengan melakukan boikot atau pengetatan terhadap produk hasil olahan kelapa sawit dari RI.
Untuk itu masyarakat harus bijak melihat industri kelapa sawit, unsur yang terkandung dalam minyak sawit membuat persaingan semakin sengit.
Sustainable management
Lantas pertanyaannya, kapan Uni Eropa berhenti melakukan kampanye negatif? Perluasan perkebunan kelapa sawit yang pesat di negeri ini telah menjadi ancaman bagi negara-negara penghasil minyak sayur seperti kedelai, bunga matahari dan kacang tanah.
Berdasarkan catatan Sawit Watch (2014), RI adalah negara dengan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, yakni 14,3 juta hektare. Perusahaan sawit terus melakukan ekspansi dan dituduh telah mencaplok lahan dalam skala luas. Pembukaan lahan untuk ekspansi sawit dengan jalan pembakaran telah menuai bencana lingkungan.
Meskipun upaya pemadaman dilakukan -bahkan Presiden Jokowi dan sejumlah menteri kerap turun langsung untuk memantau pemadaman si jago merah, yang acap unjuk kekuatan setiap tahun- tetapi api tidak sepenuhnya berhasil dijinakkan.
Penyemprotan di permukaan hamparan hingga penyuntikkan ke dalam gambut dengan air bertekanan tinggi tidak membuat asap berhenti mengepul. Tiupannya menjadi-jadi karena api sudah membakar gambut yang berada di bawah permukaan sehingga sulit dilakukan pemadaman.
Bencana asap yang seringkali berulang kerap menelan korban. Sekadar mengingatkan pada Juli 2015, dalam catatan Penulis, bencana asap di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit telah menelan korban 12 orang meninggal dunia, lebih dari 43 juta warga terpapar dan 504.000 warga terkena infeksi saluran napas.
Peristiwa ini sesungguhnya bukan lagi pada persoalan siapa yang membakar lahan tetapi akar masalahnya sudah pada salah kelola SDA. Krisis SDA berjalan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tetap tinggi dan tingkat konsumsi bahan bakar fosil yang kian boros di tengah pemenuhan gaya hidup modern.
Konon kian masifnya pembakaran lahan di RI telah menuai efek pemanasan global yang menetaskan perubahan iklim. Fenomena ini telah memengaruhi curah hujan dan peningkatan suhu udara. Suhu bumi yang sudah meningkat sekitar 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan seabad silam, telah memperlihatkan perubahan iklim secara dramatis.
Musim cenderung tidak stabil yang memunculkan cuaca ekstrem berupa badai El Nino. Dampaknya mulai tampak di sektor pertanian. Gagal panen sudah kerap menghampiri petani dan memengaruhi sumber pangan keluarga yang berbuah gizi buruk di tengah warga.
Tiga langkah jitu berikut patut dilakukan untuk menghentikan kempanye negatif minyak sawit.
Pertama, pemerintah harus melakukan sustainable management. Dukungan penuh pada implementasi agenda pembangunan berkelanjutan 2030 atau Sustainable Developmet Goals (SDGs) akan mengurangi bencana lingkungan yang sudah mulai berdampak buruk pada pasar minyak kelapa sawit di AS dan negara-negara maju di Eropa.
SDGs bertujuan untuk mengisi kesenjangan dan meneruskan Tujuan Pembangunan Milenium 2015 yang belum selesai mengentaskan rakyat miskin, menyejahterakan petani, menghargai HAM, memberdayakan perempuan, dan pelbagai agenda baru pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kedua, pengadilan lingkungan hidup patut ditegakkan guna memberikan tindakan hukum yang tepat kepada perusahaan kelapa sawit pencemar lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya melihat pembangunan nasional dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial dan lingkungan hidup.
Ketiga, pemerintah harus memiliki political will yang kuat untuk menyelamatkan masa depan minyak sawit Indonesia. Selama ini cengkraman modal para pelaku ekonomi kapitalistik kerap memeras madu SDA untuk memuaskan dahaga kerakusannya.
Perubahan pola pikir perlu bergulir dari ekonomi kapitalistik ke paradigma baru pembangunan ekonomi berkelanjutan. Yakni pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan SDA dengan memasukkan biaya lingkungan dan perubahan sosial.
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
Penulis Buku Minyak Kelapa Sawit